Memetik Anugerah di Bulan Penuh Berkah
Ada dua momentum dalam dunia Islam yang sesungguhnya adalah anugerah besar bagi umat manusia yang diberikan oleh Allah SWT. Dengan dua momentum ini umat Islam khususnya mendapat banyak doorprize atau kejutan yang tidak didapatkan pada momentum-momentum lainnya. Yaitu Ramadhan dan idulfitri. Keutamaan dan keagungan keduanya senantiasa dikumandangkan dalam mimbar masjid, layar televisi, media cetak bahkan media sosial tanpa henti. Semua itu demi mengingatkan kembali esensi Ramadhan dan idulfitri. Jika selama Ramadhan banyak prestasi yang bisa kita ukir, maka bulan Syawwal (idulfitri) menjadi momen mempertahankan prestasi sekaligus meningkatkan kebaikan setelah sebulan penuh (Ramadhan) digembleng. Semoga amal ibadah kita di bulan Ramadhan diterima dan kebaikan akan terus berlanjut di bulan-bulan selanjutnya. Jika karena Ramadhan memicu kita untuk meningkatkan amal saleh, agar lebih menyenangkan anggap saja bulan-bulan lain adalah Ramadhan (spirit). Agar kita mampu meneruskan puasa setelah Ramadhan, bukan saja puasa secara lahir namun juga puasa secara batin. Karena kemenangan hanya bagi mereka yang mampu berpuasa setelah Ramadhan.
Tradisi Rasulullah di Bulan Suci Ramadhan
Di dalam Shohih Bukhori diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW adalah manusia paling mulia dan dermawan, kemuliaan dan kedermawanan beliau tampak berlipat ganda ketika memasuki bulan Ramadhan, ketika bertemu malaikat Jibril. Di dalam Shohih Bukhori juga dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memperbanyak tilawah Al Quran pada bulan suci Ramadhan, pada bulan mulia itu malaikat Jibril secara khusus turun untuk mudarasah Al Quran bersama Nabi SAW. Dalam bahasa pesantren, Nabi sorogan Al Quran pada malaikat Jibril ketika Ramadhan, bahkan sempurna dua kali.
Tradisi semangat dan ikhtiar melipatgandakan amal salih di bulan Ramadhan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW itu diteladani oleh para sahabat Nabi, lalu para tabi'in, tabi'ut tabiin, dan generasi setelahnya. Imam Syafi’i yang di hari biasa khatam Al Quran sekali setiap hari, maka bulan Ramadhan setiap hari khatam Al Quran sampai dua kali.
Kiai-kiai dan ulama Nusantara sesungguhnya juga meneruskan tradisi semangat berprestasi tersebut. Di banyak pesantren, sebuah kitab yang biasanya memerlukan waktu satu hingga dua tahun untuk khatam, maka pada bulan suci Ramadhan bisa dikhatamkan dari awal sampai akhir. Di Tebuireng Jombang, misalnya, ada sebuah tradisi mengkhatamkan kitab hadist, Shohih Bukhori dan Shohih Muslim, sejak zaman Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, berlanjut hingga sekarang, diampu oleh KH. Kamuli Chudori. Pengajian biasanya dimulai sejak pertengahan bulan Sya'ban sampai menjelang pertengahan akhir Ramadhan. Di akhir, saat khataman kitab, santri-santri yang ikut pengajian akan diberi sanad dan ijazah dari qori', yang dimana sanad tersebut muttasil sampai mushonnif kitab. Pun kiai-kiai lain dengan konsentrasi kitab masing-masing yang dikaji juga mentradisikan budaya tersebut. Apa yang dilakukan oleh para kiai itu sesungguhnya bagian dari tradisi menggembleng para santri untuk berprestasi dan memiliki mental pemenang.
Tidak hanya itu, banyak ulama dan pemikir muslim yang mendapat Ilham untuk menulis karya besar atau mengerjakan karya besar pada bulan suci Ramadhan. Ketika banyak kiai di pelbagai pesantren mengajikan sebuah kitab dan khatam selama Ramadhan, sesungguhnya adalah didikan bagi para santri untuk berprestasi besar dan menuntaskan pekerjaan penting dan besar pada bulan suci Ramadhan.
Sebab, bulan suci Ramadhan sejatinya adalah bulan penggemblengan mental menjadi pemenang. Sejarah telah membuktikan banyak kemenangan besar dan prestasi-prestasi besar yang ditorehkan oleh umat Islam di bulan suci Ramadhan, dengan izin Allah SWT. Dan karena puasa Ramadhan ini dilakukan hanya untuk Allah, maka Allah langsung yang akan membalas pahala ibadah puasa melebihi balasan ibadah 700 kali lipat.
Jiwa Yang Suci
Kesucian jiwa inilah – yang jauh dari penyakit hati dan akhlak tercela – yang layak menjadi penghuni surga. Benarkah? Mari sejenak menghayati lagi kisah Iblis yang berkali-kali disebutkan dalam Al Quran agar menjadi pengingat bagi kita. Iblis awalnya adalah makhluk Allah yang taat dan menjadi bagian dari warga surga. Namun Iblis menolak untuk sujud – hormat, bukan ibadah – kepada Nabi Adam atas perintah Allah SWT. Iblis yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh Allah SWT karena penyakit hati, sombong. Bayangkan dengan kita yang belum pernah masuk ke surga tapi sudah sombong dulu, bisakah masuk surga?.
Di alam dunia, di momentum bulan penuh berkah dan maghfirah, bulan suci Ramadhan inilah kesempatan kita mengobati penyakit yang bersarang di dalam hati, seperti thama' (rakus), iri hati, sombong, gemar gosip, adu domba, tajassus (mencari kesalahan dan aib orang lain), ujub (bangga diri), riya' (pamer) dan lain sebagainya. Bukan hanya pertarungan internal antara kita dan nafsu kita, bahkan dengan orang lain pun kita masih ada kemungkinan perasaan yang saling menjatuhkan, menyalahkan dan lainnya. Maka dari itu, dengan pertolongan dan rahmat Allah SWT, kita bisa menahan nafsu tersebut dengan semaksimal mungkin.
Lebih dari itu, kita sebagai muslin dituntut untuk meningkatkan kualitas puasa Ramadhan, memang tidak mudah. Namun ulama-ulama kita telah memberi teladan bagaimana mereka juga berjuang dalam rangka itu. Keteladanan ini – jika boleh kita klasifikasikan – terbagi menjadi dua, yaitu perilaku aktif dan pasif. Perilaku aktif tergambar dalam semangat ibadah seperti banyak bersedekah, berbuat baik kepada orang lain, mengkhatamkan Al Quran, qiyam al lail, serta iktikaf dalam rangka berburu lailatu al qodr. Untuk perilaku pasif, keteladanan ulama tergambar bagaimana mereka senantiasa menjauhi akhlak buruk serta tidak banyak makan selama Ramadhan. Bahkan dalam kaitannya dengan budaya konsumtif, Nabi SAW sendiri telah memberi teladan bahwa orang yang berpuasa seharusnya selalu menjaga kesederhanaan, terutama atas menu buka dan sahurnya.
Keteladanan - keteladanan seperti itulah warisan luhur dari para pendahulu kita. Perilaku-perilaku yang mencerminkan semangat beribadah, kesederhanaan, dan orientasi akhirat senantiasa dipraktikkan oleh Nabi dan ulama-ulama terdahulu. Sudah saatnya kita meningkatkan standar puasa kita dari sekedar menahan lapar dan larangan-larangan fisik menuju puasa yang penuh dengan semangat ibadah dan orientasi akhirat sebagaimana yang telah diteladankan oleh figur panutan kita.
Penulis : Muhammad Lutfi | Pengurus OPI TH 18/19
Mantap Wii👌
BalasHapus