Mudik Dalam Pusara Tradisi dan Konstitusi
Pertama penulis mengangkat judul tersebut dalam kaitannya dengan kondisi yang menjadi dilematika warga Indonesia saat ini yang tengah berhadapan dengan wabah Covid-19 yang melanda berbagai negara diseluruh belahan dunia.
Dengan kondisi tersebut beberapa negara membuat berbagai jurus dan strategi guna menghadapi wabah yang dalam kurun waktu singkat ini telah merenggut banyak sekali korban dan kerugian. Dampak yang ditimbulkan juga tidak main-main, mulai dari segi sosial budaya hingga sosial ekonomi sangat terasa sekali perubahannya, melemahnya perekonomian rakyat dan terbatasnya aktivitas sosial masyarakat.
Sebagai contoh yang sangat terasa pada masa saat ini tak terkecuali seluruh elemen masyarakat Indonesia. Selanjutnya, berbagai manuver pemerintah untuk menghadapi wabah ini tentunya juga berdampak kepada rakyat, semisalnya adalah larangan mudik.
Menurut KBBI mudik merupakan kegiatan pulang ke kampung halaman, tentunya hal itu dengan niat untuk sementara mengunjungi kampung halaman dan nanti akan kembali ke kota perantauan. Kegiatan mudik sering kita jumpai pada saat menjelang hari raya Idul Fitri, masyarakat yang rindu pada sanak family di kampung menggunakan momentum itu sekedar melepas rindu dan sebagai ajang silaturahim.
Implementasi tersebut mengacu pada perintah Allah SWT untuk memelihara silaturahmi (QS : Ar Ra’d 21), senada dengan dalil tersebut ibadah lain dalam mudik adalah juga sebagai bentuk seminimalnya bakti pada orang tua seperti dalam Surat An-Nisa : 36, maka kondisi itu sangat tidak diharapkan bagi masyarakat untuk dilewatkan begitu saja.
Pemerintah lewat Kementrian Perhubungan membaca Permenhub nomor 25 tahun 2020 tentang pengendalian transportasi selama musim mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Ketentuan itu ditetapkan pada tanggal 23 April 2020 mengenai pelarangan sementara penggunaan sarana transportasi baik itu darat, laut, udara serta perkereta apian (pasal 1 dan 2).
Permenhub juga mengatur mengenai pemakaian kendaraan baik mobil atau sepeda motor untuk keperluan mudik (pasal 3), hal ini dilakukan pemerintah sebagai upaya meminimalisir penyebaran Covid-19 yang nanti bila tidak diantisipasi oleh peraturan yang tegas, masalah ini akan semakin meluas.
Di sisi lain kebijakan tersebut membuat masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan mudik masalah terkait juga semakin membuat kebijakan itu menyusahkan adalah banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh beberapa tempat pekerjaan, karena itu masyarakat juga berpikiran untuk lebih baik pulang ke kampung halaman tentunya karena faktor ekonomi.
Sebuah kebijakan ibarat dua sisi mata uang, namun langkah ini dinilai oleh pemerintah harus dijalankan guna sesegera mungkin mengatasi masalah Covid-19 yang melanda negara Indonesia belakangan ini.
Sejatinya bila menyangkut apa yang harus dilakukan, manusia memang terkadang dihadapkan dengan beberapa pilihan, jadi manusia harus menentukan keputusan dari berbagai macam pilihan.
Keputusan itu bisa diambil dengan teori pilihan rasional yang dikembangkan oleh James S. Coleman, pada mulanya teori ini ditujukan untuk kegiatan ekonomi, namun teori ini bisa digunakan untuk mengatasi fenomena sosial kemasyarakatan.
Hukum Islam sebagai agama yang sempurna, juga dapat dijadikan pedoman dalam fenomena ini dengan fenomena yang begitu kompleks. Islam selalu menjawab tantangan-tantangan pekembangan zaman.
Disini penulis mengambil ibrah dalam memberikan alternatif keputusan lewat Qawaidh fiqh dalam kaitannya dengan ini maka yang paling bijak bagi masyarakat adalah merepresentasikan di kaidah "درء المفاسد مقدم على جلب المصالح meninggallkan sebuah kerusakan lebih utama daripada mengambil kebaikan".
Maka dengan itu alangkah lebih arif bila masyarakat menghindari bahaya (potensi penyebaran Covid-19) daripada melakukan mudik. Hal itu merupakan ikhtiar antisipatif guna segera mungkin membereskan wabah yang menyerang negara ini.
Penulis : Yazid Nur Rohman Wakid
Komentar
Posting Komentar
chemistry130202@gmail.com, kaktusberdaun2@gmail.com